BeritaNasional

RUU TPKS Menjamin Adanya Hak Korban, Keluarga Korban, Saksi dan Pendamping Melalui Pelayanan One Stop Services

REDAKSIBALI.COM -Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melalui Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) mengapresiasi  proses pembahasan RUU TPKS yang berlangsung konstruktif, sehingga hak hak korrban, keluarga korban dan saksi serta pendamping terumuskan dengan lengkap dan komprehensif melalui pelayanan terpadu one stop services. Dengan ini diharapkan tidak ada lagi hak-hak mereka yang memperjuangkan penanganan kekerasan seksual yang tertinggal.

Tidak hanya menjamin, KemenPPPA juga ingin memastikan implementasi berjalan baik dengan menekankan pentingnya koordinasi pemerintah pusat dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan. KemenPPPA sebagai koordinator penyelenggara pelayanan terpadu di pemerintah pusat menyelenggarakan pelayanan rujukan akhir bagi korban kekerasan seksual yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional untuk dapat mengakses haknya.

“Dalam penyelenggaraan pelayanan terpadu, kami dari tim pemerintah telah menerima banyak masukan dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang telah merumuskan satu bab tentang penyelenggaraan UPTD PPA (Unit Pelayanan Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) dalam menangani korban kekerasan seksual. Pemerintah mengupayakan koordinasi penyelenggaraan pelayanan terpadu dapat dilaksanakan dari pusat untuk mengawal pemerintah daerah. Kementerian/Lembaga (K/L) akan saling berkoordinasi di dalam tugas dan fungsi masing-masing,” ungkap Deputi Perlindungan Perempuan KemenPPPA, Ratna Susianawati dalam Rapat Panitia Kerja RUU TPKS, di Jakarta (1/4).

Penyelenggaraan pelayanan terpadu yang nantinyan akan diampu oleh KemenPPPA, melibatkan; (1) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan; (2) Bidang sosial; (3) Bidang hukum dan hak asasi manusia; (4) Bidang luar negeri; (5) Bidang pemerintahan dalam negeri; (6) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban; (7) Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI); (8) Kepolisian; dan (9) institusi lainnya.

Anggota DPR Komisi IV, Luluk Nur Hamidah menyampaikan pentingnya melibatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan teknologi (Kemendikbud Ristek) dan Kementerian Agama dalam koordinasi penyelenggaraan pelayanan di tingkat pusat. Hal tersebut karena kasus kekerasan seksual kerap terjadi di ranah pendidikan, baik perguruan tinggi, sekolah, madrasah, dan pondok pesantren.

Guna memberikan perlindungan dan pemulihan terbaik bagi korban, pemerintah dan DPR sepakat untuk memberikan pendampingan rehabilitasi sosial, pemberdayaan sosial dan reintegrasi sosial pada korban kekerasan seksual. Hal tersebut dilaksanakan guna memastikan korban dapat kembali ke lingkungannya dengan baik dan dapat melakukan pemenuhan kehidupan seperti sedia kala.

“Pemberian rehabilitasi sosial semuanya diawali dengan asesmen untuk melihat kondisi calon penerima manfaat, baik dari sisi permasalahan, kondisi, kemampuan, minat dan bakat sehingga kita mengetahui intervensi seperti apa yang akan diberikan dan rencana yang akan dilakukan? Dalam konteks waktu pemberian rehabilitasi sosial, sampai kapan akan dilaksanakan? Tergantung pada asesmen awal dan re-asesmen secara periodik yang dilaksanakan. Apakah rehabilitasi sosial korban akan dihentikan atau dilanjutkan? Logikanya akan dilaksanakan sampai korban pulih,” tegas Sekretaris Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Idit Supriyadi.

Dalan memantau kondisi korban, KemenPPPA dibantu oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial akan melaksanakan asesmen rutin sebagai dasar pemberian rehabilitasi sosial bagi korban. Lebih lanjut, Komnas Perempuan sebagai lembaga negara yang independen akan turut memastikan penyelenggaraan asesmen bagi korban berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

“Pada dasarnya, KemenPPPA sebagai kementrian yang mendapat tugas untuk mewujudakn mekanisme komprehensif one stop service penanganan korban kekerasan seksual akan berkoordinasi dan bekerjasama dengan Kementerian dan Lembaga, serta mengkomunikasikan dengan UPTD PPA melalui Pemerintah Daerah untuk memastikan kebutuhan korban terpenuhi dengan baik,” tutup Ratna.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *